Kamis, 22 Agustus 2024
 
Register   Login



Save Page
HARI MINGGU VI SESUDAH PENTAKOSTA
Minggu, 17 Juli 2022
KUALITAS MENIKMATI HASIL BERKUALITAS
Pengkhotbah 1:3-11 (SGD)
Pengkhotbah 1:12-18

Pengkhotbah 1:3-11
1:3 Apakah gunanya manusia berusaha dengan jerih payah di bawah matahari? 1:4 Keturunan yang satu pergi dan keturunan yang lain datang, tetapi bumi tetap ada. 1:5 Matahari terbit, matahari terbenam, lalu terburu-buru menuju tempat ia terbit kembali. 1:6 Angin bertiup ke selatan, lalu berputar ke utara, terus-menerus ia berputar, dan dalam putarannya angin itu kembali. 1:7 Semua sungai mengalir ke laut, tetapi laut tidak juga menjadi penuh; ke mana sungai mengalir, ke situ sungai mengalir selalu. 1:8 Segala sesuatu menjemukan, sehingga tak terkatakan oleh manusia; mata tidak kenyang melihat, telinga tidak puas mendengar. 1:9 Apa yang pernah ada akan ada lagi, dan apa yang pernah dibuat akan dibuat lagi; tak ada sesuatu yang baru di bawah matahari. 1:10 Adakah sesuatu yang dapat dikatakan: "Lihatlah, ini baru!"? Tetapi itu sudah ada dulu, lama sebelum kita ada. 1:11 Kenang-kenangan dari masa lampau tidak ada, dan dari masa depan yang masih akan datangpun tidak akan ada kenang-kenangan pada mereka yang hidup sesudahnya.

Penjelasan:



* Pkh 1:3 - Apakah gunanya manusia berusaha dengan jerih payah // gunanya

Apakah gunanya manusia berusaha dengan jerih payah. Dari akar kata "yang tersisa," kata gunanya di sini lebih mengandung gagasan "keuntungannya" daripada "perolehannya" (bdg. 7:11). Jika orang memandang hidup ini semata-mata menurut nilai-nilai duniawi, maka tidak ada keuntungan yang bisa dilihat dari perjuangan dan kerja kerasnya. Selanjutnya, penulis membuktikan hal ini melalui penelitian terhadap berbagai bidang aktivitas manusia.

* MELALUI KEHIDUPAN MANUSIA SECARA UMUM (1:4-11).

Hidup adalah pengulangan yang tiada henti-hentinya dan tidak bermakna. Kerja keras manusia tidak menghasilkan sesuatu yang kekal; hanya bumi yang tetap ada. Jalan aktivitas manusia monoton dan tidak mempunyai tujuan, seperti halnya berbagai proses alam.

* Pkh 1:4 - Keturunan yang satu pergi // tetap ada,
Keturunan yang satu pergi. Di sini bahasa Ibrani memakai bentuk participle - satu keturunan selalu berlalu dari arena, dan yang lain selalu datang. Manusia lahir hanya untuk terjebak dalam. keadaan, dan kemudian mati. Sebaliknya, bumi tetap ada, lagi-lagi di sini dipakai bentuk participle untuk menyatakan bahwa aktivitas tersebut berlanjut. Manusia yang dijadikan dari tanah, hidupnya singkat dan kemudian mati, tetapi bahan yang darinya manusia dijadikan itu teras ada. Pengulangan menjemukan ini juga terlihat pada aktivitas "matahari" (1:5), "angin" (1:6), dan "sungai" (1:7).

* Pkh 1:8 - Segala sesuatu menjemukan // segala sesuatu // Tak terkatakan oleh manusia // mata // telinga
Segala sesuatu menjemukan. Frasa ini mengacu pada fakta bahwa segala sesuatu dalam hidup ini monoton dan sia-sia, bahwa ke mana pun orang melihat dalam alam ini, dia menemukan siklus aktivitas serupa yang tanpa henti dan membosankan. Tak terkatakan oleh manusia. Mustahil untuk mengungkapkan kesia-siaan dari segala sesuatu itu dengan kata-kata. Semua tidak pernah memberikan kepuasan nyata bagi mata atau telinga manusia.

* Pkh 1:11 - Kenang-kenangan pada masa lampau tidak ada
Kenang-kenangan pada masa lampau tidak ada. Ini mendasari "tak ada sesuatu yang baru" pada ayat 9, dan mungkin lebih baik diterjemahkan orang-orang terdahulu. Manusia bukan hanya disusahkan oleh ketidakmampuannya menghasilkan sesuatu yang berarti, tetapi juga oleh kenyataan bahwa kenang-kenangan akan kerja kerasnya pun segera dilupakan. Ini adalah jawaban lengkap untuk pertanyaan dalam ayat 3, "Apakah gunanya manusia berusaha dengan berjerih payah?" Dia tidak mendapatkan apa-apa, bahkan kenang-kenangan akan perjuangan kerasnya pun tidak.

* Tujuan umum dan maksud dari kitab ini. Apa yang hendak dikatakan oleh pengkhotbah rajawi ini? Apa yang menjadi tujuannya adalah, supaya kita menjadi benar-benar saleh, untuk menurunkan penilaian berlebihan kita dan harapan kita terhadap perkara-perkara dunia ini. Untuk mencapai tujuan ini, ia menunjukkan,

    1. Bahwa segala sesuatu adalah sia-sia (ay. 2). Ini adalah pokok pikiran yang ditetapkannya dan berusaha dibuktikannya: Kesia-siaan belaka, segala sesuatu adalah sia-sia. Ini bukan tulisan baru. Daud, ayahnya, sudah berbicara lebih dari satu kali untuk maksud yang sama. Kebenaran yang ditegaskan di sini sendiri adalah, bahwa segala sesuatu adalah sia-sia, segala sesuatu selain Allah dan yang dianggap terpisah dari-Nya, semua hal dari dunia ini, semua pekerjaan dan kenikmatan duniawi, semuanya dari dunia (1Yoh. 2:16), semua yang menyenangkan bagi indra-indra kita dan bagi angan-angan kita dalam keadaan sekarang ini, yang membawa kesenangan bagi diri kita sendiri atau nama baik di mata orang lain. Semua itu sia-sia, bukan hanya dalam penyalahgunaannya, ketika semua itu diselewengkan oleh dosa manusia, melainkan juga bahkan dalam penggunaannya. Manusia, jika dipertimbangkan dengan merujuk pada hal-hal ini, adalah kesia-siaan (Mzm. 39:6-7), dan, seandainya tidak ada kehidupan lain sesudah ini, diciptakan dengan sia-sia (Mzm. 89:48). Dan semua kesenangan itu, jika dipertimbangkan dengan merujuk pada manusia (apa pun kesenangan-kesenangan itu dalam dirinya sendiri), adalah kesia-siaan. Semua kesenangan itu tidak ada hubungannya dengan jiwa, asing, dan tidak menambahkan apa-apa kepadanya. Semua kesenangan itu tidak memenuhi tujuan, atau memberikan suatu kepuasan yang sejati. Semua kesenangan itu tidak pasti dalam kelanjutannya, memudar, lenyap, dan akan berlalu, dan pasti akan memperdaya dan mengecewakan orang-orang yang menaruh keyakinan padanya. Oleh sebab itu, janganlah kita mencintai yang sia-sia (Mzm. 4:3), atau menyerahkan diri kita kepadanya (Mzm. 24:4), sebab kita hanya akan melelahkan diri kita sendiri (Hab. 2:13). Hal ini diungkapkan di sini dengan sangat tegas. Bukan saja, segala sesuatu sia-sia, melainkan juga pada dasarnya, segala sesuatu adalah kesia-siaan. Seolah-olah kesia-siaan adalah proprium quarto modo - ciri yang keempat , dari hal-hal dunia ini, yang masuk menjadi kodratnya. Semuanya itu bukan saja kesia-siaan, melainkan juga kesia-siaan belaka (KJV: kesia-siaan dari semua kesia-siaan), kesia-siaan yang paling sia-sia, kesia-siaan yang setinggi-tingginya, hanya kesia-siaan belaka, kesia-siaan yang sedemikian rupa hingga menjadi penyebab dari sangat banyak kesia-siaan. Dan kesia-siaan ini berlipat ganda lagi, karena perkaranya pasti dan tidak bisa dibantah, segala sesuatu adalah kesia-siaan belaka. Ini menyiratkan bahwa hati orang bijak ini sepenuhnya diyakinkan dan sangat tergerak oleh kebenaran ini, dan bahwa ia sangat ingin supaya orang lain diyakinkan dan tergerak olehnya, seperti dirinya. Tetapi ia mendapati orang pada umumnya sangat enggan memercayainya dan merenungkannya (Ayb. 33:14). Hal itu juga menyiratkan bahwa kita tidak bisa memahami dan mengungkapkan kesia-siaan dunia ini. Tetapi siapakah gerangan yang berbicara tentang dunia dengan begitu meremehkannya? Apakah dia orang yang akan memegang teguh apa yang dia katakan? Ya, ia mempertaruhkan namanya untuk itu â�" kata pengkhotbah. Apakah dia seorang hakim yang cakap? Ya, secakap siapa saja. Banyak orang berbicara tentang dunia dengan merendahkannya karena mereka adalah para petapa, dan tidak mengenalnya, atau para pengemis, dan tidak memilikinya. Tetapi Salomo mengenalnya. Ia sudah menyelami kedalaman-kedalaman alam (1Raj. 4:33), dan ia memiliki dunia, mungkin lebih daripada yang pernah dimiliki siapa saja. Kepalanya penuh dengan gagasan-gagasan tentangnya dan perutnya penuh dengan harta yang tersembunyi (Mzm. 17:14, KJV), dan ia menjatuhkan penghakiman ini atasnya. Tetapi apakah dia berbicara seperti orang yang berwenang? Ya, bukan hanya wewenang seorang raja, melainkan juga wewenang seorang nabi, seorang pengkhotbah. Ia berbicara dalam nama Allah, dan diilhami oleh Allah untuk mengatakannya. Tetapi tidakkah ia mengatakannya dalam ketergesa-gesaannya, atau dalam amarah, karena mengalami suatu kekecewaan tertentu? Tidak, ia mengatakannya dengan sengaja, mengatakannya dan membuktikannya, menetapkannya sebagai sebuah pegangan yang mendasar, yang di atasnya ia membangun alasan betapa pentingnya hidup saleh. Dan, seperti menurut sebagian orang, satu hal utama yang dirancangnya adalah untuk menunjukkan bahwa takhta dan kerajaan kekal yang telah dijanjikan Allah melalui Natan kepada Daud dan keturunannya pastilah takhta dan kerajaan dari dunia lain. Sebab segala sesuatu di dunia ini tunduk pada kesia-siaan, dan karena itu tidak memiliki dalam dirinya apa yang cukup untuk memenuhi luasnya janji itu. Jika Salomo mendapati segala sesuatu sebagai kesia-siaan, maka harus datang kerajaan Mesias, yang di dalamnya kita akan mewarisi sesuatu yang sejati.

    2. Bahwa segala sesuatu di dunia ini tidak cukup untuk membuat kita bahagia. Dan untuk ini ia berseru kepada hati nurani manusia: Apakah gunanya manusia berusaha dengan jerih payah? (ay. 3). Amatilah di sini,
        (1) Urusan dunia ini digambarkan. Urusan dunia ini adalah jerih payah. Kata itu menandakan baik perhatian maupun kerja keras. Urusan dunia ini adalah pekerjaan yang melelahkan manusia. Keletihan selalu menyertai urusan duniawi. Urusan dunia ini adalah berjerih payah di bawah matahari. Ini adalah ungkapan khas dari kitab ini, yang kita jumpai sebanyak dua puluh delapan kali. Ada dunia di atas matahari, dunia yang tidak memerlukan matahari, sebab kemuliaan Allah adalah terangnya, di mana ada pekerjaan tanpa jerih payah dan dengan keuntungan yang besar, pekerjaan para malaikat. Tetapi Salomo berbicara tentang pekerjaan di bawah matahari, yang rasa sakitnya besar dan keuntungannya sedikit. Pekerjaan itu di bawah matahari, di bawah pengaruh matahari, melalui terang dan panasnya. Sama seperti kita mendapat manfaat dari terang siang hari, demikian pula ada kalanya kita bekerja berat sehari suntuk dan menanggung panas terik matahari (Mat. 20:12), dan oleh sebab itu dengan berpeluh kita akan mencari makanan kita. Dalam kuburan yang gelap dan dingin orang-orang yang lelah beristirahat.
        (2) Manfaat dari pekerjaan yang dipertanyakan: Apakah gunanya manusia berusaha dengan jerih payah? Salomo berkata (Ams. 14:23), dalam tiap jerih payah ada keuntungan. Namun di sini ia menyangkal bahwa ada keuntungan. Berkenaan dengan keadaan kita sekarang di dunia, memang benar bahwa dengan bekerja kita mendapat apa yang kita sebut keuntungan. Kita memakan hasil jerih payah tangan kita. Akan tetapi, sama seperti kekayaan dunia biasa disebut sebagai harta benda, namun kekayaan itu adalah apa yang lenyap (Ams. 23:5), demikian pula kekayaan itu disebut keuntungan, tetapi pertanyaannya adalah, apakah itu benar-benar demikian atau tidak. Dan di sini ia menyatakan bahwa itu tidak demikian, bahwa itu bukan keuntungan yang sesungguhnya, bahwa itu bukan keuntungan yang benar-benar ada. Singkatnya, kekayaan dan kesenangan dunia ini, seandainya pun kita memilikinya dengan begitu banyak, tidak cukup untuk membuat kita bahagia, tidak pula keduanya akan menjadi bagian untuk kita.


SBU


HARI MINGGU VI SESUDAH PENTAKOSTA
Minggu, 17 Juli 2022
Renungan Pagi
KJ 407:1 -Berdoa
KUALITAS MENIKMATI HASIL BERKUALITAS

Pengkhotbah 1:3-11 (SGD)
(ay 7)

KJ 407:2


HARI MINGGU VI SESUDAH PENTAKOSTA
Minggu, 17 Juli 2022
Renungan Malam
KJ 363:1 -Berdoa
MENGAPA "BENGKOK"?

Pengkhotbah 1:12-18
(ay 15)

KJ 363:2




NEXT:
Khotbah Ibadah GPIB Senin, 18 Juli 2022 - Pengkhotbah 2:18-23 - MINGGU VI SESUDAH PENTAKOSTA

PREV:
Khotbah Ibadah GPIB Sabtu, 16 Juli 2022 - 2 Korintus 9:13-15 - MINGGU V SESUDAH PENTAKOSTA







Kalender Liturgi Katolik Agustus 2024 dan Saran Nyanyian

Bacaan Alkitab Urut Peristiwa

NEXT:
Khotbah Ibadah GPIB Senin, 18 Juli 2022 - Pengkhotbah 2:18-23 - MINGGU VI SESUDAH PENTAKOSTA

PREV:
Khotbah Ibadah GPIB Sabtu, 16 Juli 2022 - 2 Korintus 9:13-15 - MINGGU V SESUDAH PENTAKOSTA

Arsip Khotbah Ibadah GPIB 2022..




TOP Christian Song